Tulisan ini didedikasikan untuk Askha dan aku. Bukan untuk menyesali atau ingin mengulang waktu. Tapi untuk menghargai setiap proses yang telah terjadi dihidupku.
Namaku Najeeb. Lelaki yang sedang menempuh progam sarjana, akan menyelesaikan semester 6, yang suka menyendiri, main futsal, nge-game, main biola, main bass, panjat tebing, naik gunung, berpendapat, menunda tugas, tertawa dan begadang. Karena sifat penyendiri, aku memiliki beberapa tempat favorit untuk lebih bisa memeluk diriku. Semua tempat itu ada di kampusku. Diantaranya adalah Genkan lantai 2, gedung B lantai 3, lapsas, bangbir, hima, musholla, dan kawasan penangkaran manusia. Pernah ketika H-1 ujian tengah semester, aku menghabiskan 5 jam di genkan lantai 2 tanpa sadar senja sudah berlalu. Keasikan membaca novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Dan menghafalkan materi UTS. Saat itu ditemani HP, headset, susu kotak coklat, dan roti coklat kesukaanku.
Seperti manusia yang ada di kampus, di kost, di minimarket, di jalan manapun, aku mempunyai perasaan. Aku pernah suka, pernah jatuh cinta kepada seseorang gadis. Setiap orang bertanya “kenapa?” Aku bingung harus menjawab apa. Karena tidak ada alasan untuk itu. Namanya Askha. Satu jurusan denganku, tapi satu tingkat dibawahku. Aku tidak bisa berbuat apa apa saat melihat dia tersenyum. Aku menikmatinya. Aku ingin dekat dengannya. Tapi aku bingung untuk memulai. Aku mencoba membuka diri, membuka hati setelah gagal pada kisah terdahulu.
Naluri dan otak kanan akan bekerja optimal ketika melakukan hal yang kita sukai demi mendapat atensi darinya. Respon positif, lalu komunikasi dua arah adalah hasil usaha otak kananku mendekatinya. Pada sore hari sekitar jam 4 lewat. Pertama kalinya aku jalan dengannya. Sedekat itu aku bisa melihat mata belo miliknya, senyum menawan dan suara lembut saat kita berbicara.
Saat aku melakukan hal yang kusenangi, waktu terasa cepat. Begitu pula ketika aku bersama Askha. Malam terlalu cepat berlalu, jalanan sepi dilalui mobil yang melaju kencang. Seperti ekspektasiku kepadanya. Tak bisa kuhentikan. Pikiranku beralih kepadanya 24/7. Aku bingung bagaimana berhenti. Aku tak pernah lepas kendali seperti ini.
Layaknya muda mudi yang jatuh cinta, kami melakukan hal yang senormalnya dilakukan. Nonton film di bioskop, chatting mengucapkan selamat malam, lalu selamat pagi mengigatnya saat akan memulai hari. Nonton teater lalu kami menebak alur dan watak tokohnya, nonton konser walau sedikit gerimis. Dan menemani makan siang.
Tahun baru semakin dekat. UAS telah selesai. Artinya Askha akan balik kerumahnya. Pintaku sebelum balik adalah mengajak dia nonton film Wonder. Dari novel Wonder karya RJ Palacio. Sehari sebelum nonton, ia ulangtahun. Aku buatkan sedikit mainan tangan dan surat pengakuan untuknya. Dan malam itu kami berpisah dan akan berjumpa tahun depan.
Sialnya, saat aku sendiri, aku tak bisa mengendalikan diri. Aku selalu ingin dengannya, tahu tentang kabarnya, apa yang ia lakukan. Tanpa sadar perlakuanku sudah mendekati posesif. Padahal aku bukan siapa siapa. Tak memberi jarak, juga kesempatan untuk sendiri. Waktu dengan keluarga, sahabat lebih penting daripada harus meladeni aku yang tersesat didalam kamar kost 4m x 4m ini.
Malam pergantian tahun telah berlalu. Kami saling memberitau apa yang belun diketahui. Memberi jawaban dari pertanyaan pertanyaan. Dan aku telah membangun ekspektasi yang tinggi bersamanya. Membuat rencana yang akan diwujudkan ditahun ini bersamanya. Seperti berburu cokelat, membawanya ketempat favoritku, wisata kuliner, nonton film, makan cheeseburger di McD. Dan mengunjungi rumahnya untuk sekedar menikmati senja.
Aku pernah berjanji akan membawanya ketempat yang aku suka. Kita akan berbagi cerita disana. Tapi aku merasakan ada sesuatu yang berubah darinya. Aku butuh penjelasan. Aku ingin tahu apa yang terjadi, apa yang ia rasa, kenapa tiba tiba berubah 180 derajat.
Gedung B lantai 3. Kami bertemu lagi setelah pergantian tahun. Terpenuhi janjiku membawanya. Tapi, mimik mukanya berubah, gesturenya tertutup, dan bahasa tubuhnya adalah bahasa penolakan. Aku selalu mengingatkannya minum air putih. Tetapi saat itu ia berkata “gue bukan anak kecil lagi.” Aku bertanya tanya kenapa seperti ini? Heran.
“Mau jujur gak? Katakan apapun akan gue dengerin.” Kataku.
“Maaf ya kalo ini nyakitin, tapi gue itu orangnya bosenan. Awalnya gue nganggap ini cuma fun doang. Gue ngeladeninnya juga karena fun. Tapi akhir – akhir ini gue ngerasa bosen.”
Aku tahu bukan bosan alasan utamanya seperti ini. Tapi karena keegoisanku tak memberi jarak. Aku menerjemahkan apa yang ia sampaikan adalah memerintahku untuk berhenti dan menjauh.
Aku selalu suka ditempat ini. Melihat orang berlalu dengan kesibukan dalam pikiran mereka tanpa sadar aku memperhatikan dari atas. Melihat daun gugur dibawa angin. Dan sedikit mengingat materi kuliah. Tapi pada hari itu, aku mempunyai kenangan buruk dengan tempat itu. Tempat dimana diriku dihancurkan ekspektasi, tempat dimana jantungku sejenak mati. Seolah tidak percaya terhadap sebuah reaksi.
Semenjak hari itu. Aku mengevaluasi diri. Banyak salah dan ego dalam jiwa. Dipaksa berhenti saat sedang berlari dengan kencangnya. Tapi memang itu yang terjadi. Setidaknya aku mengambil pelajaran. Romantisme yang berkesan bahagia dan selalu berakhir bahagia. Ditentang oleh realisme yang menceritakan sisi pahit dan gelap sebelum mendapatkan kebahagiaan.
Biarlah. Biarlah semua ekspektasi, semua rencana yang telah terbangun bersamanya berlalu dan tak nyata. Biarlah gugur dibawa angin, dikubur bersama debu, disapu oleh hujan, hilang ditelan waktu. Berdamai dengan masa lalu. Aku menghargai apa yang telah terjadi. Karena ini merupakan proses untuk menjadi aku.
Catatan kaki : Pada hari itu, aku ingin mengajaknya kepada hubungan yang lebih dari sekedar teman. Tapi batal. Hehe..