A Letter About Kae

 

For her, my favorite girl in this world. I don’t know how to write a letter correctly. I just share my thoughts. About the girl that I love the most. Is she the one? Is she the answer? We’ll figure it out. She has a lot of friends. She used to be called Kae. In my perspective, she is cute, chatty. And the most mainstream word everyone uses, beautiful. I mean, she is beautiful. I used to call her Gina.

 

I remember the first time I texted her on Instagram. “Gin, tau ga?” then I ignored her for one day to make her curious. I scared her about the relation between butterflies that we found in bangbir with mystical things. It worked. Thanks, butterfly gave me the way to approach her.

We’re getting closer every single day. We know better for each other, we have the same frequency. We made a recorded call on phone for 6 hours. Watched Bumblebee’s movie in Jatos. We ate food from surboy, naspad, warung pojok, pujas, soto, lamongan. I surprised when she bought the same shoes as me. Converse 70’s Black White is our choice. A good taste, the best choice.

Suddenly she becomes my girlfriend, she understands me, I love the way when she smiles, laughs, argues, and speak up about perspective she had. If I allowed stealing lyrics from Lauv’s song, I like me better when I’m with you. If I could steal words from Tony Stark, I love you 3000 times. Her name is Ghina Khaerunissa, and I love her.

Bandara

Tempat ini terdengar asing bagiku, karna sebelum aku mengenal tempat ini, aku mendengar bahwa bandara berhubungan erat dengan air mata. Ntahlah, aku tidak terlalu percaya.

Hal-hal yang secara konkret dapat kulihat di bandara adalah benda mirip hiu bersayap, mesin-mesin jet, bangku-bangku tempat menunggu, manusia-manusia yang berjibaku dengan waktu, manusia-manusia dengan beragam ekspresi wajah.

Itulah yang aku lihat saat pertama kesana. Aku heran, dimana air mata? Katanya mereka berhubungan erat, tapi kenapa air mata tak muncul? Aku bingung. Rasa ingintahu menuntunku mencari air mata di bandara. Aku mengelilinginya. Tapi, yang aku lihat adalah aktivitas monoton seperti, orang berlalu lalang, pengumuman keberangkatan, satpam menjaga keamanan, pria berbadan tegap di gerbang keberangkatan, dan orang orang yang berbaris dibelakang pagar sepinggang mereka.

Kemudian aku mencoba mengelilinya sekali lagi, menatap ribuan pasang mata hanya untuk mencari dimana letak air mata. Aku tak dapat menemukan air mata pada sebuah keluarga yang berencana berlibur, pada pasangan muda-mudi yang mengumbar peluk, serta pada orang yang baru saja mendarat menjajakkan kaki di tanah kelahirannya.

Aku makin penasaran. Terus membedah isi bandara. Tapi langkahku terhenti ketika seseorang wanita yang berdiri dibelakang pagar pembatas sepinggang berteriak bahagia saat seorang lelaki muncul dari balik pintu otomatis bandara berparas elok, menyandang tas, berambut rapi. “Armaan!” Teriak wanita. Sang lelaki mendekati dengan tergesa lalu memeluk wanita itu. Seperti bak yang sudah penuh dengan air ketika kran lupa dimatikan, melimpah. Mungkin seperti itu pelampiasan perasaan lelaki tersebut. Aku memperhatikan, karena tiba tiba disana munculah air mata. Yang aku cari dibandara ini. Sepasang kekasih tersebut mengalir air mata dari kelopak mata sebelah kanan, pertanda air mata kebahagiaan. Itu karena penantian panjang seorang wanita untuk menunggu kekasihnya pulang tak berujung sia. Dan perjuangan seorang lelaki untuk pulang bertemu sang pujaan. Akhirnya aku menemukan air mata. Tapi rasa penasaranku masih belum terjawab. Kudengar bahwa air mata kebahagiaan mempunyai kekasih, namanya air mata kesedihan. Kenapa mereka tak menyatu? Dimana air mata kesedihan? Aku harus mencari.

Di sudut lain bandara, aku melihat sosok ibu dan anak. Terlihat sosok ibu yang memeluk anaknya sangat erat seakan berat melepas kepergian anaknya. Disisi lain, aku melihat raut wajahnya yang mengisyaratkan keikhlasan. Ia mengikhlaskan putranya untuk pergi, menyongsong masa depan yang lebih baik. Ia mengikhlaskan putranya untuk melihat sisi dunia yang lain, yang gelap dan dingin tanpa dirinya. Begitupun kulihat sang anak yang mendekap erat sosok malaikat. Sosok yang rela berpeluh dan berdarah hanya untuknya. Sosok yang senantiasa melantunkan namanya dalam doa.
Dan saat itulah aku menemukan air mata kesedihan dalam pelupuk mata mereka.

Air mata kebahagiaan dan kesedihan adalah dua sisi mata uang. Bagai kutub selatan dan kutub utara bumi. Dua hal yang kontradiksi.

Dan kau tahu? Sebelum aku mengenal bandara dan air mata, aku banyak mendengar tentangnya dari sebuah organ bernama “hati” dialah yang melahirkan air mata bahagia dan kesedihan. Jadi, aku salah dengar kalau mereka adalah kekasih, hehe. Hati sengaja menitipkan kedua anaknya kepada bandara agar manusia lebih menghargai waktu, menghargai perasaan, dan menghargai orang yang kau sayang. Pesanku sebelum pergi ke bandara, jangan lupa bertanya kepada “hati”.

— Bekasi, Padang
19 Juni 2017
Dibuat bersama seorang teman, DH

Terlalu santai

Ia berjanji menyelesaikan semua urusannya pagi ini. Kantuk menguasainya. “masih pagi ini.” Ia kembali menarik selimutnya.

Siang hari ketika ia terbangun lagi, ia berjanji untuk melanjutkan kewajibannya. “laper, makan dulu. Nanti abis makan.” Ia kembali tertidur selepas makan siang.

Pergantian sore ke malam, ia terbangun lagi. Tubuhnya gerah, keringat membuat badannya gatal. “sehabis mandi aku akan melakukannya. ”

Setelah mandi dan makan malam, ia berkata “ngumpulin mood dulu sebelum mulai.” Ia putar musik kesukaannya si Spotify tidak premium.

Sembari menunggu mood, ia lupa waktu. Terlalu sibuk melihat kehidupan delusi di media sosial miliknya. “Pencapaianku harus lebih dari mereka”. Seolah ia lupa kewajiban yang ia tunda dari pagi.

Tiga jam kemudian ia membuka laptopnya. Mengerjakan 10 menit lalu istirahat 30 menit. “YouTube-an dulu” ia mengklik video berdurasi 60 menit.

Sangat mudah teralihkan, ia lupa melanjutkan kewajibannya. Hampir tengah malam, ia merasa kantuk menyerang. “ngantuk, lanjut besok aja”.

Esok pagi ia terbangun, dan mengulang siklus yang sama. Lalu panik ketika mendekati tenggat waktu. “kenapa waktu cepat sekali berlalu! Aku harus menyelesaikannya hari ini juga”.

Begitu seterusnya sampai ia menyelesaikan pada H-2. “Efek liburan, hehe.” Kemudian ia melanjutkan tidur dengan kasur favoritnya.

Aku berharap bisa menjadi kamu sebentar saja. Kita berganti peran, hingga aku bisa memahami bagaimana rasanya menapak dengan kakimu, merasa dengan sudut pandangmu. Aku tau itu mustahil. Tapi tidak mustahil untuk menceritakan semua padaku. Tumpahkan keluh kesahmu. Aku tidak akan membandingkan dengan punyaku. Sehingga aku bisa memahamimu lebih baik, lebih dalam.

Aku tau, banyak beban yang kamu tanggung. Terkadang kamu merasa lelah, tapi aku juga tau bahwa kamu tidak mudah tunduk, tidak mudah berhenti, apalagi menyerah. Diantara semua perasaan dominan yang ada didalam dirimu, melihatmu tersenyum tulus adalah hal yang tidak ada tandingannya.

Jikalau kamu lelah, katakan padaku, istirahat denganku, aku ada untukmu. Jangan ragu untuk berbagi bebanmu bersamaku. Ketika aku tidak bersamamu, kuharap kamu tidak melakukan hal aneh yang membuatku takut. Kuharap kamu tidak menyakiti dirimu. Yang perlu kamu tau, kamu berharga, kamu berarti untukku.

Memang berat berjuang melepas semua beban. Lakukan itu pelan pelan. Aku ada disampingmu, bersamamu. Ingat rencana-rencana yang akan kita jadikan nyata. Ingat semua tempat yang akan kita kunjungi. Ingat bahwa banyak cerita yang akan saling kita ceritakan setiap hari. Aku mohon, jangan menyerah. Aku masih ingin melihatmu esok, lusa dan nanti.

Sitting quietly

The people on the internet talk about politic, religion, equality gender and share their experiences. I do respect all those perspectives. But I can’t decide which one is right or wrong. How about me? The lazy person who sleeps late every single day, listening to music from Spotify, checking my social media but post nothing. Trying to make money but have no idea. Go outside to meet the friend in real life is a hard part for me as an introvert. I often stand in front of the mirror, staring my eyes, and talking like the shadow in the mirror wasn’t me. What’s my goal in life? I mean what project that I’ll do in future? I don’t even know the answer. I just wanna be me, chilling in the place where I belong. Enjoy the freedom.

I really don’t know what chapter I’ve been through in life. Something that I know is I will be graduated from university and get a bachelor degree. Step by step I make my goals come true. I went around the java. Met different people with different culture, I explored a lot of culinary that I never tried before. Such a fantastic experienced. I went to Japan for presenting Minangkabau’s culture. Met youth people around Asia and talking about their behavior despite they tried to speak English hardly. But as long as we understand what the topic, we laughed, we do not care about grammar. We just laughing, dancing, and enjoy the music.

The more places I visit, the more experiences I got. This journey has changed my point of view about life. In this paragraph, I discovered my goal. I wanna go travel around the world, making international friendship, chilling in the place I can see the beautiful sunset, and do nothing.

Hymenoptera: Formicidae

Liburan kali ini sangat kunikmati. Biss tidur sebebasnya, tanpa harus memiliki pikiran untuk melaksanakan tugas. Bangun dengan senang, senyum, semangat. Seperti siang ini, aku terbangun karena ingin berurusan ke toilet. Lalu kembali ke istanaku, bercumbu dengan guling.

Saat mataku melirik ke lantai, aku melihat satu koloni semut sedang bekerja sama memindahkan makanan manis sisa semalam. Ah sial, semalam aku ketiduran karena kenyang makan martabak manis yang masih tersisa dua potong. Baiklah semut, aku khilaf. Ambil semuanya, bagikan kepada rakyatmu.

Teringat tentang seseorang yang bisa berbicara kepada hewan, aku mendadak menjadi profesional yang seakan telah lama melakukannya. Kuajak mereka bicara. “halo sahabat!”
Secara otomatis lidahku bertutur dengan bahasa semut. Mereka sejenak berhenti bekerja. Mengabaikan harta karun di depan mata mereka.

Walaupun suara mereka sulit didengar, namun pesan mereka langsung sampai dan bisa aku cerna. “ada keperluan apa kau memanggil kami, manusia?”
Aku heran hanya karena modal yakin, bisa bicara dengan hewan. Kenapa ini? Apakah karena martabak itu telah dicampuri ramuan istimewa, atau aku hanya beruntung saja terpilih menjadi penyambung lidah?

Melihat semut bekerja seperti profesional pada bidangnya. Aku baru mengetahui mereka bekerja sambil berbicara satu sama lain. Saling membantu, lalu tertawa bersama. Aku baru tahu setelah kemampuan ini melekat padaku. Mereka para semut sangat menikmati dunia mereka. Sedangkan aku seorang diri yang terkagum-kagum melihat hubungan antar mereka yang begitu rapat. Aku penasaran, apakah mereka memiliki nama? Apakah mereka berkeluarga? Kalau iya, siapa kepala keluarga? Kenapa bisa berjalan di dinding begitu mudah? Dimana anak-anak? Mengapa mereka seukuran semuanya.

Namun pertanyaan yang keluar bukanlah itu. “apa yang kalian pikirkan tentangku?”
Kali ini mereka tetap bekerja, namun salah satu diantaranya bicara padaku.
“Kami juga tinggal disini. Tentu kami tahu siapa kau. Melihat kau pada titik sedih, lalu bahagia. Kau sering bicara di depan kaca. Itu bagus untuk mengenal diri, tali tidak bagus jika sudah sampai menghina dan tidak menerima.”

Aku diperhatikan, tidak mempunyai penggemar diantara manusia. Diantara semut aku digemari. Aku tidak tahu harus menganggap ini hal yang gila atau biasa terjadi. Apakah semut di kamar Ricky juga menggemarinya? Apakah semut di kamar Nadeem terhibur karena setiap hari ia bersajak? Atau mungkin semut di kamar abay lebih terhibur oleh suara merdunya setiap hari.
“Ya, aku memang begitu, aku memasuki masa dimana aku mempertanyakan siapa aku, untuk apa aku ada?”
“Aku hanya meremehkan diri sendiri. Aku selalu menunda niat baik, pekerjaan yang bersifat produktif, malas bergerak dan lebih memilih berbaring di kasur.”

Maafkan aku semut, kalian terlihat sama. Mataku minus, aku lupa berbicara dengan semut yang mana. Tetapi intinya aku tetap bisa berkomunikasi.
“Tidak, kau tidak begitu. Kau istimewa. Kami tahu masalah yang kau hadapi tidak mudah. Tapi kau pasang badan untuk itu. Kau tangguh, kau bisa tinggal jauh dari keluarga. Sedangkan kami, kehilangan salahsatu dari kami sehari saja, kami sudah panik. Kau tidak tersesat, setiap hari kau berkembang dengan mainanmu. Tapi kau hanya kurang gairah untuk menjalankan. Istirahatlah sejenak, tapi jangan berhenti. Yakinlah sesuatu yang manis selalu memberi petunjuk. Seperti kami yang menikmati martabak ini.”

Mereka bukan penggemarku, mereka benar-benar sahabat. Tau kebiasaanku di kamar ini. Tau saran yang tepat untukku. Kata-kata yang diberikan positif. Jarang aku dapatkan. Baiklah. Kuterima semua saran.

Aku sepakat dengan diriku untuk terus menjaga hubungan dengan para semut. Mereka begitu memahami semboyan Perancis tentang persaudaraan, kesetaraan, dan kebebasan untuk menjadi hewan yang bebas. Setelah hari itu, saat menjalani masa kuliah yang ribet, saat aku lelah, kuceritakan keluh kesahku. Dan mereka selalu tahu bagaimana mendengar untuk mengerti, bukan mendengar untuk membalas, lalu menghakimi.

I cried last night before final exam

Semakin lama jempolku berselancar diantara layar kecil berjarak 20cm didepan mata, semakin aku tak memberi waktu untuk mengenal diriku. Masuk kedalam dimensi imajinasi yang tak harus diketahui, dan melakukan komparasi dengan pencapaian diri.

Mengenal diri, kuletakkan gawai-ku. Tidak seperti biasa, aku tidak membaca buku, tidak mendengarkan musik. Aku mencoba menyelami diriku sendiri. Menyelamatkan sesuatu yang masih tenggelam. Mengingat rasa, dan reaksi terhadap rasa itu.

Aku lengah, aku terlalu memaksakan keras kepada diriku. Tak pernah berkeluh kesah kepada teman, intensitas komunikasi dengan keluarga sudah meredup. Aku lengah, tak lagi peka keadaan sekitarku. berpura-pura menyibukkan raga untuk bekerja.

Aku belum mengenal diriku sampai pada titik aku menangis, lega, dan damai. Mekanisme pertahanan diriku adalah takut akan reaksi, menghindari fraksi, dan suka berestimasi. Itu semua salah. Aku lupa bahwa aku punya hidup, punya mimpi, dan aku punya kesempatan untuk bahagia.

Mengenal diri, kurangi intensitas menggunakan gawai. Beri perhatian terhadap sekitar, dan jangan lupa makan tepat waktu.

My favorite stuff

What’s your favorite clothes? I mean the most favorite stuff you wear everyday. When you wear it, you’d totally feel warm, comfort, and confidently walking through the crowd. Me, basically love every clothes like shirt, t-shirt, parka, suits, sweater, hoodie jacket or anything that look similar. As long as their colors are neutral, and fit to me.
Honestly, i have the one clothes that i like the most. I like wearing hoodie jacket. I am addicted to it. Why? Exactly, i don’t know the reason, in my mind it’s just like a simple stuff that you could wear everywhere, everytime. I don’t have to thinking about my tangled shirt. It’s a piece of cake, as simple as that.
Have you ever been in position when you see your favorite stuff on the store, then you willing to save money to get it someday? I’ll do it for hoodie jacket. There are two part of hoodie jacket that i like. First one is the pocket in front of the stomach. I can put anything on it like drink, wallet, handphone, glasses, small book anything you like. The second one is the hoodie. When I have bad day, i’ll pull the hoodie up, then I feel like I can’t hear the noise, or the messy thing.
That’s my point of view about hoodie. Someday if you get rich, you haven’t forget my name, just remember to buy me hoodie.

Gabut tengah malam

Terjebak, tidak selalu mengarah kepada sisi yang negatif. Seperti aku, terjebak didalam pilihan. Rasa ingin tahu lebih tinggi daripada ketakutan. Jalani adalah satu-satunya opsi. Karena satu kaki melangkah, kaki yang satunya harus melangkah. Saat terjebak, tentu aku harus mencari jalan keluar agar bebas dari ketidakpastian. aku merasa terjebak karena tidak berada di zonaku, merasa asing, dan takt ahu arah. Namun, dari keterjebakan ini aku belajar. Aku belajar bagaimana berdiri di kaki sendiri, belajar tentang teori kehidupan, konsep-konsep yang membuat mind blowing, dan berhubungan dengan hati yang berseberangan.

Jika dianalogikan, aku berada di tengah-tengah hutan tropis, tak ada petunjuk, asing, gelap, dan membingungkan untuk kesan pertama. Yang harus kulakukan adalah beradaptasi, survive, dan bertahan sampai aku menemukan kehidupan. Aku belum terlalu paham makna kehidupan. Yang kutahu kehidupan adalah representasi dari kehidupan di kota. Semua orang sibuk dengan urusannya, setiap malam minggu semua jenis orang dengan tahta dan kelompoknya keluar untuk lepas dari rutinitas senin-jumat. Bangun pagi, bertarung dengan macet lalu menuntut ilmu untuk kerja jadi pegawai dan hidup tenang sampai tua.

Karena terjebak, aku mendapat banyak keuntungan dibanding sedikit kerugian. Mengubah perspektifku memandang dunia, memandang alam, memandang hidup. Aku mengabaikan suara burung, matahari terbit, daun yang mengikuti arah matahari, dan suara air yang membuat siapapun yang mendengarnya akan menjadi tenang.
Setelah aku menjalani pilihanku untuk melanjutkan Pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di salah satu universitas di Jawa Barat, awalnya sulit beradaptasi karena faktor culture shock, out of comfort zone. Lalu, semua berubah menjadi kehidupan yang mempunyai warna, rasa, ciri khas, dan kenangan. Aku mempelajari bahasa yang bahkan aku tak pernah terpikirkan untuk mempelajarinya. Masuk ke dalam kelas selama satu setengah jam, lalu istirahat makan siang bersama teman.
Di ruang lingkup ini, aku belajar gender, feminisme, teori sastra, telaah teks, budaya, logika berbahasa, rekonstruksi paradigma, bagaimana berdiskusi yang efektif dan solutif. Akan berkesan lurus jika hanya persoalan akademik, aku juga sebagai pemain futsal mewakili jurusan dan fakultas. Bermain biola dan membuat konser kecil-kecilan. Berlatih tarian tradisiional Minangkabau dan silat lalu berkesempatan mempresentasikannya di ruang lingkup internasional. Bergabung dengan organisasi pecinta alam di fakultasku agar bisa berlatih manjat dan keluar masuk hutan dengan baik dan benar. Dan menjadi kepala departemen olahraga pada organisasi hima di jurusanku.

Sebagai manusia normal yang pernah punya perasaan, tentunya aku pernah jatuh cinta. Pernah dekat dengan perempuan. Nonton bareng, makan bareng, telponan, jalan, saling diam, lalu pupus. Pernah hampir pacaran tapi sirna. akhirnya menikmati kesendirian. Lalu takut lagi untuk suka dan memiliki perasaan. Hanya bisa mengagumi dan memandang. Pengecut.

Setiap insan pasti berproses, tak perduli apakah cepat atau lambat, karena setiap kita mempunyai zona waktu masing-masing. Pada titik inilah aku belajar untuk berdiri di kaki sendiri, teguh pada keyakinanku, dan menyelesaikan apa yang telah dimulai. Tidak lama lagi masaku di lingkup universitas akan berakhir. Kelak setelah lulus dari akademi ini, aku akan membagi ilmu yang aku miliki, menebar manfaat dan menjadi manusia yang lebih berguna.
Terimakasih atas kesempatan ini, kuhabiskan jatah gagalku disini, kulatih diriku untuk bekerja keras. Lelah tentu pernah, jenuh apalagi, tapi tidak ada kata untuk berhenti. Tidak ada yang bisa kita jaga selain diri kita sendiri. Nikmatilah sembari tersenyum.